JIHAD FI SABILILLAH. YAITU, KONSEP BERJUANG UNTUK MEMBEBASKAN MANUSIA

Siapa yang tidak menginginkan hidup mulia, baik di dunia dan akhirat? Hampir bisa dipastikan tidak ada satu pun orang yang memiliki cita-cita hidup sengsara dan masuk neraka. Semuanya berkeinginan kuat hidup damai di dunia dan kelak di akhirat masuk surga. Dari sinilah, ratusan bahkan milyaran manusia di dunia ini berlomba-lomba menjadi pribadi yang baik dan hendak hidup tenang kelak di alam baka. Banyak cara yang mereka lakukan. Car yang paling banyak adalah masuk atau memeluk agama. Dengan beragama, manusia akan memiliki pedoman hidup dan jalan hidup. Dengan agama pula, mereka hendak menciptakan keteraturan dan ketenangan antar sesama. Itulah esensi agama. Ditilik dari segi etimologi, agama berasal dari bahasa Sansekerta, yakni ‘a’ (tidak) dan ‘gamma’ (kekacuan). Jadi, agama adalah untuk menyatukan, mengatur agar teratur, tidak ada kekacauan, dan menjunjung tinggi moral. Orang beragama tentu memiliki suatu kondisi dimana ia menjadi pengikut (hamba) yang loyal terhadap agamanya itu. Sebagai contoh, orang Islam akan rajin shalat lima waktu karena semua itu merupakan perintah Allah yang tidak bisa ditinggalkan. Nah, uraian ini akan menguapas terkait orang yang memperjuangkan agama Allah atau menegakkan kalimah Allah. Dalam terminologi agama Islam ada yang namanya jihad fi sabilillah. Yaitu, konsep berjuang untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah Yang Maha Esa. Bisa juga dimaknai sebagai berjuang untuk menegakkan kalimah Allah, membela agama Islam. Nah, orang yang meninggal dalam keadaan jihad fi sabilillah ini disebut sebagai mati syahid. Jika sudah mati syahid, kata Allah dan Nabi Muhammad dalam banyak  hadis, maka ia (syuhada) akan masuk surga tanpa hisab. Bahkan ia ditempatkan di surga yang paling tinggi. Ganjaran yang begitu besar membuat segenap Muslim berusaha keras meraihnya. Akan tetapi, tidak sedikit dari mereka “salah arah” dalam memaknai dan mengimplementasikan jihad dan menjadi syuhada. Kesalahn seperti ini, menjadikan Allah—sangat mungkin—tidak ridho. Untuk itulah, dalam artikel sederhanya ini, penulis hendak mengulas kriteria mati syahid (syuhada). Hal ini bertujuan untuk; (1. Mendidik masyarakat agar pemahaman tentang keagamaan benar-benar lurus. Dan (2. Sebagai langkah taktis untuk menyadarkan masyarakat yang terlanjur menyalahpahami mati syahid, seperti bom bunuh diri dan lainnya. Sebelum masuk pada pokok pembahasan, penulis hendak mengantarkan kepada pembaca sekalian pada suatu kondisi masa lalu. Saya mulai dari mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Ash’ari, lafadznya dari Bukhari. Bahwa Nabi Muhammad pernah ditanya seoarang sahabat tentang motivasi orang yang berjuang menegakkan kalimat Allah ini ternyata hanya karena ingin memperlihatkan dirinya berani (sombong) atau karena fanatik terhadap kelompok tertentu dan marah, manakah perjuangan itu yang dianggap karena Allah? Lantas Nabi Muhammad Saw menjawab: “orang yang berjuang agar kalimah Allah tegak tinggi sajalah yang dinamakan berjuang karena Allah.” Hadis tersebut memberikan suatu informasi penting dan cara memahaminya harus dengan mafhum syarat. Artinya, perjuangan yang semata-mata karena Allah agar tegak tinggi yang diterima Allah, sedangkan yang lainnya sia-sia. Adalah pemahaman yang umum bahwa seorang atau sekelompok yang meninggal dunia karena kecelakaan ketika waktu melaksanakan ibadah haji dimasukkan sebagai para syuhada. Dan ada juga klaim sepihak, sebagaimana yang disinggung di awal, bahwa meledakkan bom bunuh diri di tengah keramaian bukanlah kejahatan, melain salah satu cara untuk meraih predikat syuhada. Nah, yang demikian ini tentu tidak serta merta disebut sebagai syuhada, karena ada faktor lain yang dapat menggugurkan “predikat syuhada” itu. salah satunya adalah ketidaktepatan cara meraih syuhada. Karena ia jelas-jelas merenggut nyawa orang lain yang tidak tau apa-apa. Untuk itu, penting kiranya melihat apakah seseorang itu termasuk dalam kriteria mati syahid, atau justru setengah syahid, abhkan jangan-jangan ia mati tidak syahid. Sueb Didu, dalam Radikalisme dalam Islam(2006) menjelaskan ada beberapa kriteria mati syahid. Semua itu dilihat dari sabda Nabi Muhammad. Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Syuhada ada lima macam: mati karena penyakit thaun,sakit perut, keruntuhan, perang di jalan Allah (HR. Bukhari). Hadis ini bisa dilacak di Fathul Bari karya Ibnu Hajar Asqalani pada jilid VI, halaman 42. Masih mengutip penjelasan Didu, Ibnu ABi Thalib menjelaskan bahwa: “Setiap kematian yang dialami oleh orang Islam adalah syahid. Namun yang membedakan adalah status syahid yang bertingkat-tingkat. Dijelaskan pula bahwa, ibu meninggal dunia karena melahirkan anaknya termasuk mati dalam kondisi syahid. Namun, mayitnya “diperlakukan” sebagaimana pada mayit umumnya. Ada juga suatu riwayat dari Ibnu Abbas. Bahwa laki-laki yang dalam keadaan ihram kemudian ia terlempar dari kendaraanya sehingga menyebabkan ia wafat. Terhadap orang seperti ini, Rasulullah memerintahkan untu dimandikan dengan air dan sitrin dan dikafani dengan dua lembar kain, namun jangan ditutup di bagian kepalanya. Kemudian Rasul menegaskan bahwa dia akan dibangkitkan dalam keadaan talbiyah (HR. Bukhari). Berdasarkan keterangan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan yang cukup gamblang, bahwa mereka yang wafat mempertahankan haknya atau sedang menunaikan tugas perang fi sabilillah itu yang disebut syuhada. *Muhammad Najib, Pemerhati Sosial-Keagamaan.

Comments

Popular Posts