Pembantaian dan Industri Kebencian (Bagian I)


Saya sedang berada di pesawat, dari Abu Dhabi menuju Jakarta, saat menonton siaran live CNN dan BBC tentang pembantaian terhadap kaum Muslim di Christchurch, Selandia Baru (SB). Baik host maupun narasumber yang ditampilkan, beberapa kali mengulangi kalimat yang sama: mengapa ini bisa terjadi di SB, yang terkenal sangat damai dan toleran?
Yang menjadi perhatian dunia pada hari-hari selanjutnya adalah respon warga SB yang luar biasa. Tak terhitung bunga yang diantarkan ke lokasi pembantaian. Tangisan orang-orang yang sesungguhnya tak mengenal para korban. Kaum perempuan, apapun agamanya, pada suatu hari sepakat ramai-ramai pakai jilbab. Warga non-Muslim bersama-sama menjaga kaum Muslim saat mereka sholat di masjid.
Bahkan anak-anak sekolah pun turut serta dalam gerakan empati massal yang luar biasa ini dengan beramai-ramai menarikan Haka secara amat khusyuk. Haka adalah tarian tradisional suku Maori, menyimbolkan duka cita sekaligus kemarahan pada kebiadaban itu. Terbayangkah Anda, anak-anak SMA kita bisa secara spontan melakukan gerakan empati seperti itu saat beberapa gereja Surabaya dibom oleh simpatisan ISIS?
Kemarin (21/4), saat umat Kristiani sedunia memperingati Jumat Agung, teroris melakukan aksi bom bunuh diri di gereja St. Sebastian, Sri Lanka. Belum ada yang menyatakan bertanggung jawab. Tapi melihat metode yang dipakai (aksi bom bunuh diri), sepertinya sudah banyak yang menduga, siapa.
Saat sholat Jumat sepekan setelah pembantaian di SB, Gamal Fouda, imam masjid Al Noor, memberikan khutbah, antara lain, mengecam ideologi ‘white supremacist’ (mengagungkan kulit putih, membenci non-kulit putih) dan menyebutnya sebagai ideologi jahat.
Dia menyatakan, “Politik ketakutan [terhadap Muslim] tidak terjadi dalam semalam. Ini adalah hasil dari [politik] anti-Islam dan anti-Muslim yang dilakukan sebagian pemimpin politik, media massa, dan yang lainnya.”

Comments

Popular Posts